Detail Post
Nasirun, Energi Cinta Sang Seniman untuk Lingkungan
17 November 2016 / Admin / , , / 3072 Kali Dilihat / 0 Komentar
Nasirun,
Energi Cinta Sang Seniman untuk Lingkungan
Sebagai seniman, kiprah Nasirun di bidang seni rupa sudah tidak perlu diragukan lagi. Berbagai pameran seni rupa, mulai dari tingkat lokal, nasional hingga internasional telah digelar dengan sukses oleh seniman kelahiran Adipala, Cilacap, 1 Oktober 1965 ini. Lukisan karyanya dibanderol dengan harga miliaran rupiah.
Gambar. Kolam di halaman rumah Nasirun
Nasirun, termasuk pelukis yang sangat produktif. Salah satu pameran yang pernah digelarnya pada tahun 2014 yang bertajuk “Uwuh Seni” berhasil memamerkan 1078 lukisan hasil karyanya yang dibuat dalam rentang waktu 3 tahun, di sela-sela waktunya membuat lukisan regularnya, “Kecuali jika kita bisa menghentikan waktu, maka saya akan berhenti membuat karya dan bersantai. Tapi tidak, karena itu saya harus terus berkarya. Setiap hari, saya harus menghasilkan paling tidak satu karya.”
Apakah yang menjadi kegelisahan Nasirun sehingga bisa memiliki begitu banyak energi untuk berkarya?
“Tidak ada kegelisahan, hanya cinta.” Ucapnya yang diiringi dengan tawa yang berderai-derai. Begitulah ciri khas seniman berambut gondrong ini, setiap kata-katanya selalu diiringi tawa yang berderai, menularkan energi yang penuh kegembiraan pada setiap lawan bicaranya.
Bagi Nasirun, cinta adalah cinta kepada Indonesia, cinta kepada bumi, cinta kepada alam, cinta kepada sesama ciptaannya. Karena manifestasi beragam bentuk cintanya inilah, sentuhan seni Nasirun tidak hanya terbatas di atas kanvas. Rumahnya yang besar di Bayeman, Kabupaten Bantul, seakan menjadi kanvas hidup bagi tangan dinginnya. Koleksi beragam jenis tumbuhan, dipadu dengan hasta karya lain dihalamannya ditata dengan apik bagai lukisan di atas kanvas.
Kecintaannya pada Indonesia, yang lebih sering disebutnya dengan Nusantara, memang menjadi pendorong baginya dalam berkarya. Dalam interview Tim Buletin Kalpataru dikediamannya beberapa waktu yang lalu Nasirun mengisahkan, “Nusantara adalah zamrud khatulistiwa yang dipresentasikan ke dunia, namun sekarang tidak lagi menjadi ikon karena anak bangsa sendiri lah yang mencederainya” Bagaimanapun, Nasirun tidak lepas dari bahasa khas seniman yang seringkali terkesan ndakik-ndakik, sulit dipahami oleh orang awam, namun kemudian dijelaskannya lagi.
"Nusantara semenjak dahulu membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kebudayaan yang kemudian berakulturasi dengan kebudayaan lokalnya. Perpaduan ini telah melahirkan berbagai maha karya otentik Nusantara sendiri, diantaranya 'Wayang Purwa' yang merupakan adaptasi dari epos Mahabharata di India. “
“Bukti bahwa 'Wayang Purwa' merupakan maha karya otentik Nusantara sendiri dan bukan sekedar copy paste dari versi India-nya adalah munculnya tokoh-tokoh Punakawan; Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang tidak ada dalam cerita aslinya. Bentuk-bentuk kebudayaan semacam ini kemudian berakar di Nusantara."
Kemudian, bagaimana Nasirun memaknai kecintaannya pada alam sehingga atas kepeduliannya pada alam khususnya keanekaragaman hayati, pernah mendapatkan penghargaan "Kehati Awards" tingkat DIY pada tahun 2013 yang lalu untuk kategori Citra Lestari Kehati?
Bagi Nasirun, berbicara mengenai alam tetap tidak lepas dari kebudayaan Nusantara, "Budaya Nusantara tidak berjarak dengan alam. Bagaimanapun, alam diciptakan lebih dahulu dari manusia dan sesudah itu baru manusia menciptakan kebudayaan. Di masa lalu, ketika kebudayaan Nusantara dapat dikatakan tidak berjarak dengan alam, kebudayaan Nusantara mampu melahirkan maha karya-maha karya luar biasa, candi Prambanan atau Borobudur, bahkan motif batik yang menggambarkan keanekaragaman hayati merupakan maha karya. Namun pada saat ini, atas nama 'pembangunan', alam seringkali dikorbankan. Sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah 'bencana-bencana lingkungan'. Padahal seharusnya, pembangunan-lah yang merespon alam, pembangunan seharusnya tidak merusak alam," ujar pelukis yang masih selalu berpenampilan sederhana dengan jeans belel dan bepergian dengan motor butut, sekalipun telah menjadi kaya raya tersebut.
Lantas, bagaimana kita dapat memperbaiki 'kerusakan' yang sudah terjadi?
"Semua komponen anak bangsa perlu memiliki kesadaran untuk berkarya sebagai bentuk terima kasih kepada alam, kepada bumi yang telah memberi penghidupan pada manusia. Kesadaran ini tentu tidak cukup hanya dimiliki oleh satu atau dua orang saja, namun harus berwujud "kesadaran kolektivitas" untuk berkontribusi terhadap bumi."
Nasirun tidak sekedar bicara. Dalam kehidupan sehari-harinya beliau telah membuktikan dan memberikan kontribusi terima kasihnya kepada alam dengan tangannya sendiri. Bukan sekali dua kali saja Nasirun menyapu halaman atau jalan di depan rumahnya, "Saya tidak punya uang untuk membayar pegawai," demikian kilahnya. Namun di lain waktu beliau juga akan turun ke sungai dan membersihkan sampah-sampah yang terbawa arus. Di lain waktu lagi beliau akan 'menyelamatkan' mata air atau menyelamatkan tanaman yang terancam penebangan karena pembangunan. Nasirun juga mendaur ulang sampah-sampah menjadi karya seni bernilai tinggi; bekas bangunan langgar kayu dari Kampungnya di Adipala, Cilacap, diboyongnya ke halaman rumahnya dan dijadikan salah satu museum lukisnya; 'anglo-anglo' bekas tempat memasak dari ibunya diubahnya menjadi hiasan dinding penuh cita rasa seni, abu vulkanik hasil erupsi Gunung Kelud awal tahun 2014 lalu yang mengenai rumahnya dikumpulkan dan dibuatnya menjadi sebuah monumen. Bahkan sebagian besar dari 1078 lukisannya dalam pameran tunggalnya yang bertajuk 'Uwuh Seni", dibuat Nasirun dari kertas-kertas bekas undangan.
Interpretasinya terhadap pembangunan dengan 'merespon alam' digambarkannya dengan; "Rumah tidak harus kotak." Hal ini dicontohkannya dengan menjebol atap rumahnya sendiri ketika ada koleksi tanamannya yang tumbuh semakin tinggi dan terhalang oleh atap, seperti juga pada saat beliau membeli lahan untuk membangun rumahnya yang besar, Nasirun meminta pemilik tanah yang dibelinya untuk tidak menebang pepohonan yang ada di lahan tersebut. Pepohonan tersebut dibiarkannya tetap tumbuh dilahan tempat beliau membangun rumahnya. Dengan konsep 'membangun dengan merespon alam' ini, Nasirun kemudian tidak hanya dikenal di dunia seni rupa, namun juga di dunia arsitektur. Ikatan Arsitek Malaysia bahkan berencana memberinya penghargaan untuk konsepnya tersebut.
Tidak mengherankan jika rumahnya saat ini dibanjiri pengunjung yang datang silih berganti, yang tidak sekedar ingin menikmati kesejukan atau pemandangan luar biasa hasil olah rasa seninya, namun juga pengunjung-pengunjung yang ingin belajar tentang alam dan lingkungan.
Dari Nasirun, kita dapat belajar bahwa seseorang tidak harus menjadi aktivis lingkungan untuk dapat berkontribusi terhadap alam dan lingkungan. Yang diperlukan sesungguhnya hanyalah cinta, dan kepedulian!(Red)
Post Terkait
Habitat Alami sebagai Solusi K...
Habitat Alami sebagai Solusi Kepunahan Spesies Oleh: Subbid...
Side Menu

Tinggalkan Komentar