Detail Post
Sampah Botol Masuk Mesin, Belanjapun Dapat Poin
05 April 2017 / Admin / , , , , / 1634 Kali Dilihat / 0 Komentar
PET atau PETE, atau polyethylene terephthalate merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan oleh konsumen. Sehari-hari, kita dapat menemukan PET sebagai wadah minuman, makanan, deterjen, kosmetik dan banyak lagi produk-produk lainnya.
PET adalah material semiporus dan mampu menyerap molekul-molekul makanan atau minuman yang dikemasnya. Kemasan PET kosong bekas pakai atau limbah PET yang dibuang oleh konsumen dalam industri daur ulang disebut dengan “post consumer PET”. Beberapa Negara telah memisahkan pemilahan limbah PET dari sampah rumah tangga. Dengan dipilah, limbah botol PET lebih mudah untuk didaur ulang. Pada dasarnya, limbah PET dapat "didaur ulang" untuk digunakan lagi dengan diurai menjadi bahan materialnya asalnya.
Residu yang menempel pada kemasan bermaterial PET akan sulit dihilangkan. Pemanasan untuk mensterilkan akan menghancurkan materialnya. Oleh karena itu botol plastik biasanya didaur ulang menjadi "lower grade products" seperti misalnya karpet. Agar dapat digunakan sebagai "food grade plastic" atau plastik yang aman sebagai pembungkus makanan, maka limbah botol PET harus dihidrolisa terlebih dahulu menjadi monomer yang berfungsi memurnikan dan kemudian di re-polimerisasi untuk dapat menghasilkan PET baru. PET baru hasil daur ulang limbah kemasan PET ini biasanya disebut rPET.
Menurut statistik global, di seluruh dunia kira-kira 7,5 juta ton limbah PET berhasil didaur ulang pada tahun 2011. Jumlah ini setara dengan 5,9 juta ton serpihan PET. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya mendaur ulang sekitar 4,7 juta ton serpihan limbah PET. Dari jumlah tersebut, sekitar 3,4 juta ton didaur ulang menjadi bahan fiber (serat); 500.000 ton didaur ulang menjadi rPET atau PET baru dan sisanya didaur ulang menjadi produk lain-lain.
Jepang merupakan salah satu negara yang telah menerapkan sistem pengelolaan sampah yang baik, dimana kegiatan “Recycling” atau daur ulang termasuk kegiatan yang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Daur Ulang di Jepang didasarkan pada Undang-Undang Daur Ulang Kontainer dan Kemasan Jepang atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Kampanye Pemilahan dan Daur Ulang Kontainer dan Kemasan yang mulai diterapkan sejak April 1997 oleh Kementerian Lingkungan dengan sasaran untuk mengelola limbah kaca, botol PET dan karton.
Beberapa poin penting yang diatur dalam Undang-Undang tersebut tersebut, diantaranya:
1) Kegiatan daur ulang diselenggarakan oleh JCPRA (Japanese Container and Package Recycling Association) atau Asosiasi Daur Ulang Kontainer dan Kemasan Jepang, yaitu suatu organisasi yang ditunjuk oleh pemerintah Jepang untuk mengelola dan menyelenggarakan kegiatan daur ulang limbah kontainer dan kemasan.
2) Konsumen diharuskan mengikuti panduan pemilahan yang ditetapkan oleh pemerintah kota masing-masing.
3) Limbah/sampah yang telah dipilah akan dikumpulkan oleh petugas pemerintah kota dan disimpan sementara untuk kemudian diangkut oleh perusahaan daur ulang.
4) Perusahaan-perusahaan dan badan-badan usaha yang menggunakan kontainer dan kemasan diharuskan membayar biaya daur ulang kepada JCPRA, tergantung pada volume produksi dan penjualannya.
5) Setiap tahun rekanan daur ulang dipilih melalui proses lelang di tingkat pemerintah kota dimana terdapat "Tempat Pengumpulan Sampah". Tugasnya adalah untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah dari tempat penyimpanan sementara ke tempat fasilitas daur ulang. Untuk memastikan bahwa sampah tersebut benar-benar di daur ulang, rekanan pemenang lelang hanya akan mendapatkan pembayaran setelah menyampaikan laporan pengiriman, yang ditanda-tangani oleh penerima produk-produk hasil daur ulang.
Dampak positif dari penerapan Undang-Undang tersebut adalah meningkatnya angka daur ulang limbah/sampah di Jepang. Waste Atlas atau Peta Limbah menunjukkan bahwa angka daur ulang Jepang mencapai 20,8% pada tahun 2012.
Dari poin-poin yang terdapat dalam Undang-Undang Kampanye Pemilahan dan Daur Ulang Kontainer dan Kemasan, dapat ditekankan bahwa di Jepang, kegiatan daur ulang sebagai salah satu bentuk pengelolaan sampah/limbah menjadi tanggung jawab bersama-sama antara pemerintah, perusahaan/pabrik sebagai produsen dan masyarakat umum sebagai konsumen, dimana masing-masing diberikan porsi yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitasnya.
Limbah kemasan kaleng, sekalipun belum termasuk yang diatur dalam Undang-Undang, tetapi telah mendapat perhatian serius dari masyarakat luas sejak lama. Pada tahun 2006, sekitar 99% pemerintah kota telah menyelenggarakan pengumpulan dan daur ulang limbah kemasan kaleng. Hasilnya adalah 88,1% limbah kemasan kaleng tersebut telah berhasil di daur ulang. Angka ini diklaim sebagai yang tertinggi di dunia menurut Japan Steel Can Recycling Association, sebuah oraganisasi non-profit yang gencar melakukan kampanye pendaur-ulangan limbah kemasan kaleng.
Selain diwajibkan untuk membayar biaya daur ulang, secara tidak langsung, perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik penghasil produk-produk berkemasan dituntut untuk ikut melakukan daur ulang sebagai salah satu bentuk pengelolaan limbah yang dihasilkannya. Pemerintah Jepang menyebutnya sebagai extended production cost. Setiap produk yang dipasarkan diwajibkan mencantumkan “cara pengelolaan” limbah produk atau limbah kemasannya setelah dipakai yang biasanya dituliskan pada salah satu bagian kemasannya.
Selain itu, perusahaan yang menghasilkan produk yang membutuhkan penanganan khusus, menyediakan mesin-mesin pendaur ulang yang mudah dijangkau oleh konsumen. Contohnya baterai, beberapa jenis baterai, karena kandungan bahan kimianya termasuk zat pencemar sehingga harus dipisahkan dari sampah rumah tangga. Sebagian besar jenis baterai sebenarny dapat didaur ulang, seperti lead acid battery, Ni-Cd, Ni-MH, Li-ion dan Ni-Zn. Jika produsen baterai tidak menyediakan mesin daur ulang, maka limbah baterai dapat dikumpulkan di boks khusus yang disediakan oleh toko penjualnya.
Gambar1. Mesin pendaur ulang baterai dan tinta printer disediakan oleh produsen beberapa merk seperti Panasonic, Canon dan Epson sebagai bentuk tanggung jawab produsen dalam mengelola limbah yang dihasilkan
Mesin-mesin pendaur ulang tidak hanya banyak disediakan oleh produsen. Pusat perbelanjaan seperti supermarket sebagai tempat penghubung antara produsen dan konsumen juga ikut menyediakan. Pada umumnya, yang banyak disediakan di supermarket berupa mesin pendaur ulang botol PET. Salah satunya dapat ditemukan di jaringan Pusat Perbelanjaan Inageya di Tokyo, Jepang.
Untuk menarik minat konsumen agar mau mendaur ulang limbah botol PET-nya di tempat tersebut, pihak pengelola Supermarket Inageya memberikan poin belanja khusus bagi pelanggannya.
Prosedur yang harus ditempuhpun cukup mudah. Pertama-tama, pelanggan harus mendaftarkan diri di supermarket tersebut untuk mendapatkan kartu belanja elektronik. Kemudian, setiap kali mengunjungi supermarket tersebut, baik untuk keperluan belanja ataupun tidak, pelanggan dapat langsung membawa sampah-sampah botol PET-nya sekalian untuk dimasukkan ke dalam mesin-mesin pendaur ulang yang disediakan. Tentu saja botol-botol yang masuk mesin pendaur ulang harus sudah sesuai dengan tata cara pemilahan yang ditetapkan; botol PET telah dilepas label dan tutupnya dan paling tidak telah sedikit dibilas dengan air. Dengan menge-tap kartu belanjanya pada mesin sebelum dan sesudah memasukkan botol-botol PET, poin belanja akan ditambahkan ke kartu belanja sesuai dengan jumlah botol yang dimasukkannya ke dalam mesin. Jika poin belanja sudah terkumpul cukup banyak, pelanggan dapat menukarkannya di supermarket tersebut dengan potongan harga atau uang tunai, yang ternyata, untuk kota metropolitan dunia seperti Tokyo-pun, metode ini cukup ampuh menarik minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi mendaur ulang sampah.
Anti-BLH
Post Terkait
Habitat Alami sebagai Solusi K...
Habitat Alami sebagai Solusi Kepunahan Spesies Oleh: Subbid...
Side Menu

Tinggalkan Komentar